
Senin, 04 Maret 2013
Program Beasiswa Studi ke Australia

Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty dengan bangga mengumumkan pembukaan pendaftaran Beasiswa Australia Awards 2014 yang diselenggarakan melalui program bantuan luar negeri Pemerintah Australia.
Australia menawarkan sekitar 500 penghargaan beasiswa kepada calon pelamar dari Indonesia. Sebanyak 2.399 siswa dari lebih 90 negara berkesempatan untuk belajar di perguruan tinggi Australia pada tahun 2014.
Siswa-siswa terbaik dan tercerdas akan diseleksi berdasarkan kualitas kepemimpinan, prestasi akademik dan potensi mereka dalam berkontribusi untuk pembangunan di Indonesia.
Tahun lalu, 474 penerima beasiswa dari Indonesia telah lolos seleksi untuk belajar di Australia di tahun 2013.
"Beasiswa Australia Awards memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan di dunia dan kini Pemerintah Australia mengundang pelamar yang mau menjadi bagian dari generasi baru pemimpin global untuk pembangunan yang bermitra kuat dengan Australia," ungkap Duta Besar Moriarty, Senin (4/3/2013).
Beasiswa Australia Awards memberikan pemimpin masa depan kesempatan memperoleh kualifikasi perguruan tinggi di salah satu universitas bertaraf dunia di Australia.
Penerima beasiswa juga berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman hidup di Australia dan membangun jaringan yang kuat dengan warga serta organisasi di Australia.
Beasiswa Australia Awards menawarkan pemimpin masa depan kesempatan untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan kepemimpinan mereka yang bertujuan untuk berkontribusi kepada pembangunan di negara asal mereka .
"Penerima beasiwa akan menerima bantuan yang berkelanjutan dan pengembangan profesi sepanjang karir mereka melalui jaringan internasional alumni Australian Awards yang menghubungkan masing-masing individu, lembaga dan negara," ungkap Duta Besar Moriarty. Pendaftaran Beasiswa Australia Awards dibuka pada 4 Maret 2013 dan ditutup pada 19 Juli 2013
Balada Tarling di Tepi Laut...
Suara Teni Suteni (55) menyayat hati. Setelah melewati gang sempit, suaranya yang melengking tinggi itu seperti menyusup ke tepi laut di utara kampung. Tak ada hajatan. Hanya pentas kecil yang berlangsung di teras rumah Djana Partanain (76), pemimpin kelompok tarling Candra Kirana, akhir Februari 2013. P
Teni, salah satu dari dua pesinden Candra Kirana, sedang menembangkan ”Kiser Saida-Saeni”, salah satu tembang klasik dalam seni tarling cirebonan. Ia tampak begitu dekat dengan tembang itu. Bukan semata lantaran itu ”tembang wajib” dalam pementasan tarling, ”Kiser Saida-Saeni” seperti mewakili ungkapan rasa paling dalam dari para seniman tarling. ”Kisahnya sedih, mewakili kami orang-orang miskin,” kata Teni.
Pesinden yang sudah bergelut di dunia tarling sejak usia muda ini kini sehari-hari cuma penjual rujak di sekitar kampung Pesisir Samadikun, Kebonbaru, Cirebon, Jawa Barat.
Kampung Pesisir Samadikun terletak di tepi laut bagian utara Kota Cirebon. Dulu, kampung ini berupa tanah-tanah timbul di tepi laut. Cukup sulit menemukan rumah Djana Partanain, tempat kelompok tarling Candra Kirana bermarkas. Setelah menyusur tepi laut, tempat tambak-tambak udang berderet, ada jalan kecil yang mengantarkan kita ke sebuah selokan. Bahkan, sebelum itu kita harus melintasi timbunan sampah dan sisa genangan rob yang berbau. Rumah Mang Djana, begitu seniman tarling itu dipanggil, beralamat di Jalan Kapten Samadikun Gang Melati Nomor 7, Cirebon. Jalan Kapten Samadikun lebih menyerupai gang ketimbang sebuah jalan. Sementara Gang Melati adalah lorong sempit, yang menjulur sampai ke tepian.
Alamat markas Sanggar Tarling Candra Kirana, yang didirikan Mang Djana bersama puluhan seniman lainnya, di sebuah gang sempit seolah mewakili nasib para seniman.
Teni menceritakan, selain Mang Djana yang ”gagah” hidup dari tarling, seniman lain umumnya berprofesi sebagai buruh bangunan, tukang ojek, nelayan, dan pedagang kecil. ”Mana mungkin bisamakan dari tarling, tetapi kami tak menyerah,” ujarnya.
Mang Djana, menurut istrinya, Kartini (70), pernah berprofesi sebagai tukang becak, buruh bangunan, dan nelayan. ”Semuanya demi anak-anak. Ya ndak bisa hidup dari tarling. Tetapi dia kepala batu,” kata Kartini sembari menunjuk Mang Djana. Seniman tarling sepuh itu cuma nyengir mendengar kisah istrinya. ”Itu satu anak saya sampai ndak bisa ngomong karena step waktu kecil,” kata Kartini dengan logat Cirebon yang kental.
Rombongan wartawan kebudayaan yang mengunjungi Candra Kirana dalam rangka Trip Sampoerna Asyiik Fest mendapatkan suguhan istimewa. Sejak sore Mang Djana dan para seniman tarling menunjukkan bagaimana memainkan, menjaga, dan mengembangkan tarling.
Sanggar Candra Kirana, ujar Mang Djana, boleh jadi adalah satu-satunya sanggar yang tetap memainkan tarling sebagaimana awal mula dikembangkan tahun 1960-an. Kelompok ini bukan menolak kombinasi tarling dengan dangdut, sebagaimana kini banyak ditemukan di Cirebon, melainkan menjaga tarling sesuai aslinya jauh lebih penting. ”Kalau bukan kami, siapa lagi yang menjaga tarling,” kata Mang Djana.
Tarling diperkirakan lahir sekitar tahun 1930 di pesisir Cirebon dan Indramayu. Para seniman setempat mencoba mengombinasikan gitar dan suling bambu. Kata tarling berasal dari kata gitar dan suling. ”Ya, dulu alat musik tarling cuma itu. Sebagian nada dalam gamelan dimainkan dengan gitar,” kata Mang Djana.
Budayawan Cirebon, Dino Syahrudin, mengatakan, dalam perkembangannya, tarling diberi tari dan sandiwara. ”Umumnya kisah-kisah tentang kehidupan rakyat kecil,” katanya.
Tarling memang satu bentuk kesenian terbuka, yang elok saja kalau disisipi jenis-jenis seni baru. ”Sekarang sebagian besar tarling diselipi dangdutan. Kalau tidak begitu, anak-anak muda tidak suka,” kata Dino.
Mang Djana tidak pernah menutup diri terhadap upaya-upaya pengembangan atau aktualisasi terhadap tarling. ”Yang suka dangdut silakan, tetapi tarling kami biarkan saja begini,” katanya.
Tarling Candra Kirana tetap seperti ketika awal mula Mang Djana menekuni musik ini pada usia 10 tahun. Mereka tetap memainkan tembang-tembang klasik seperti ”Kiser Saida-Saeni”, ”Pegat Balen”, ”Lair Batin”, ”Bayuan”, dan ”Kiser Panggugah”.
Kelompok ini juga setia memainkan tembang-tembang yang lebih baru, seperti ”Warung Pojok” atau ”Pemuda Idaman”, serta memasukkan unsur-unsur sandiwara di dalamnya.
Pada suatu masa dalam babakan tahun 1960-1970, tarling ibarat ekspresi komunal kaum pesisiran. Ia ditanggap dan dipentaskan di mana-mana, seolah tiada hari tanpa tarling.
Ketika jenis musik seperti dangdut dan organ tunggal dikenal, tarling beramai-ramai diboyong menjadi bagian dari perkembangan seni terbaru itu. Tentu, sebagai kesenian rakyat, tarling terbuka untuk diadaptasi untuk memunculkan satu jenis ”seni baru” lagi, sebagaimana dulu tarling digagas dari gitar dan suling.
Kini, jejak masa lalu tarling klasik itu (mungkin) cuma ”teronggok” di gang sempit Kampung Samadikun, Kota Cirebon. Dan Mang Djana, pendiri Sanggar Tarling Candra Kirana, tak menyerah oleh desakan goyang musik dangdut dan getar teknologi organ tunggal. Tubuh dan usianya boleh makin ringkih, tetapi ”ideologinya” makin kokoh: tarling tak boleh mati....
Suara Teni Suteni (55) menyayat hati. Setelah melewati gang sempit, suaranya yang melengking tinggi itu seperti menyusup ke tepi laut di utara kampung. Tak ada hajatan. Hanya pentas kecil yang berlangsung di teras rumah Djana Partanain (76), pemimpin kelompok tarling Candra Kirana, akhir Februari 2013. P
Teni, salah satu dari dua pesinden Candra Kirana, sedang menembangkan ”Kiser Saida-Saeni”, salah satu tembang klasik dalam seni tarling cirebonan. Ia tampak begitu dekat dengan tembang itu. Bukan semata lantaran itu ”tembang wajib” dalam pementasan tarling, ”Kiser Saida-Saeni” seperti mewakili ungkapan rasa paling dalam dari para seniman tarling. ”Kisahnya sedih, mewakili kami orang-orang miskin,” kata Teni.
Pesinden yang sudah bergelut di dunia tarling sejak usia muda ini kini sehari-hari cuma penjual rujak di sekitar kampung Pesisir Samadikun, Kebonbaru, Cirebon, Jawa Barat.
Kampung Pesisir Samadikun terletak di tepi laut bagian utara Kota Cirebon. Dulu, kampung ini berupa tanah-tanah timbul di tepi laut. Cukup sulit menemukan rumah Djana Partanain, tempat kelompok tarling Candra Kirana bermarkas. Setelah menyusur tepi laut, tempat tambak-tambak udang berderet, ada jalan kecil yang mengantarkan kita ke sebuah selokan. Bahkan, sebelum itu kita harus melintasi timbunan sampah dan sisa genangan rob yang berbau. Rumah Mang Djana, begitu seniman tarling itu dipanggil, beralamat di Jalan Kapten Samadikun Gang Melati Nomor 7, Cirebon. Jalan Kapten Samadikun lebih menyerupai gang ketimbang sebuah jalan. Sementara Gang Melati adalah lorong sempit, yang menjulur sampai ke tepian.
Alamat markas Sanggar Tarling Candra Kirana, yang didirikan Mang Djana bersama puluhan seniman lainnya, di sebuah gang sempit seolah mewakili nasib para seniman.
Teni menceritakan, selain Mang Djana yang ”gagah” hidup dari tarling, seniman lain umumnya berprofesi sebagai buruh bangunan, tukang ojek, nelayan, dan pedagang kecil. ”Mana mungkin bisamakan dari tarling, tetapi kami tak menyerah,” ujarnya.
Mang Djana, menurut istrinya, Kartini (70), pernah berprofesi sebagai tukang becak, buruh bangunan, dan nelayan. ”Semuanya demi anak-anak. Ya ndak bisa hidup dari tarling. Tetapi dia kepala batu,” kata Kartini sembari menunjuk Mang Djana. Seniman tarling sepuh itu cuma nyengir mendengar kisah istrinya. ”Itu satu anak saya sampai ndak bisa ngomong karena step waktu kecil,” kata Kartini dengan logat Cirebon yang kental.
Rombongan wartawan kebudayaan yang mengunjungi Candra Kirana dalam rangka Trip Sampoerna Asyiik Fest mendapatkan suguhan istimewa. Sejak sore Mang Djana dan para seniman tarling menunjukkan bagaimana memainkan, menjaga, dan mengembangkan tarling.
Sanggar Candra Kirana, ujar Mang Djana, boleh jadi adalah satu-satunya sanggar yang tetap memainkan tarling sebagaimana awal mula dikembangkan tahun 1960-an. Kelompok ini bukan menolak kombinasi tarling dengan dangdut, sebagaimana kini banyak ditemukan di Cirebon, melainkan menjaga tarling sesuai aslinya jauh lebih penting. ”Kalau bukan kami, siapa lagi yang menjaga tarling,” kata Mang Djana.
Tarling diperkirakan lahir sekitar tahun 1930 di pesisir Cirebon dan Indramayu. Para seniman setempat mencoba mengombinasikan gitar dan suling bambu. Kata tarling berasal dari kata gitar dan suling. ”Ya, dulu alat musik tarling cuma itu. Sebagian nada dalam gamelan dimainkan dengan gitar,” kata Mang Djana.
Budayawan Cirebon, Dino Syahrudin, mengatakan, dalam perkembangannya, tarling diberi tari dan sandiwara. ”Umumnya kisah-kisah tentang kehidupan rakyat kecil,” katanya.
Tarling memang satu bentuk kesenian terbuka, yang elok saja kalau disisipi jenis-jenis seni baru. ”Sekarang sebagian besar tarling diselipi dangdutan. Kalau tidak begitu, anak-anak muda tidak suka,” kata Dino.
Mang Djana tidak pernah menutup diri terhadap upaya-upaya pengembangan atau aktualisasi terhadap tarling. ”Yang suka dangdut silakan, tetapi tarling kami biarkan saja begini,” katanya.
Tarling Candra Kirana tetap seperti ketika awal mula Mang Djana menekuni musik ini pada usia 10 tahun. Mereka tetap memainkan tembang-tembang klasik seperti ”Kiser Saida-Saeni”, ”Pegat Balen”, ”Lair Batin”, ”Bayuan”, dan ”Kiser Panggugah”.
Kelompok ini juga setia memainkan tembang-tembang yang lebih baru, seperti ”Warung Pojok” atau ”Pemuda Idaman”, serta memasukkan unsur-unsur sandiwara di dalamnya.
Pada suatu masa dalam babakan tahun 1960-1970, tarling ibarat ekspresi komunal kaum pesisiran. Ia ditanggap dan dipentaskan di mana-mana, seolah tiada hari tanpa tarling.
Ketika jenis musik seperti dangdut dan organ tunggal dikenal, tarling beramai-ramai diboyong menjadi bagian dari perkembangan seni terbaru itu. Tentu, sebagai kesenian rakyat, tarling terbuka untuk diadaptasi untuk memunculkan satu jenis ”seni baru” lagi, sebagaimana dulu tarling digagas dari gitar dan suling.
Kini, jejak masa lalu tarling klasik itu (mungkin) cuma ”teronggok” di gang sempit Kampung Samadikun, Kota Cirebon. Dan Mang Djana, pendiri Sanggar Tarling Candra Kirana, tak menyerah oleh desakan goyang musik dangdut dan getar teknologi organ tunggal. Tubuh dan usianya boleh makin ringkih, tetapi ”ideologinya” makin kokoh: tarling tak boleh mati....
Pati dan Kudus Siapkan Wisata Goa Karst

Pemerintah Kabupaten Pati dan Kudus, Jawa Tengah, merintis pengembangan pariwisata goa karst di Pegunungan Kendeng Utara. Pengembangan bertujuan untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dan meningkatkan pariwisata dalam Visit Jawa Tengah 2013.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Pati Sigit Hartoko, akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah akan mengembangkan Goa Pancur di Desa Jimbaran, Kecamatan Kayen. Goa tersebut merupakan bagian dari kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Pati Sigit Hartoko, akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah akan mengembangkan Goa Pancur di Desa Jimbaran, Kecamatan Kayen. Goa tersebut merupakan bagian dari kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara.
”Kami akan mengembangkan Goa Pancur sebagai wahana susur atau jelajah goa. Kalau lorong goa air disusuri sampai sekitar 800 meter, ada pemandangan bagus berupa stalaktit dan stalagmit indah,” kata Sigit.Kawasan itu dikenal sebagai tempat keluarnya sumber air dari sungai bawah tanah. Selama ini, potensi pariwisata itu baru dimanfaatkan warga hanya dengan memanfaatkan air untuk sawah dan hidup sehari-hari.
Menurut dia, di luar goa tersebut juga ada danau penampung air goa. Jika dinormalisasi dan ditata, danau tersebut bisa menjadi kawasan wisata air. Di kawasan seluas dua hektar itu akan dikembangkan fasilitas kegiatan luar ruang (outbound).
Tokoh masyarakat Desa Jimbaran, Suyitno (32), mendukung program pengembangan wisata Goa Pancur. Wisata yang mengedepankan jelajah goa itu diharapkan mampu mewadahi masyarakat sekaligus sebagai bentuk pelestarian lingkungan.
”Selain berwisata, para wisatawan juga bisa mengetahui tentang bentang alam karst melalui penjelajahan Pegunungan Kendeng Utara di Goa Pancur,” ujarnya.
Di Kudus, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus juga mengembangkan wisata goa karst Pegunungan Kendeng Utara di Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan. Desa Wonosoco merupakan desa wisata alam dan budaya. Sebab, di desa itu terdapat sumber air dan wayang klithik atau wayang yang terbuat dari perpaduan kulit dan kayu.
Kepala Desa Wonosoco Sudarmin mengemukakan, di Wonosoco terdapat tiga goa, yaitu Goa Batu Cantik, Keraton, dan Surodipo. Di Goa Batu Cantik, misalnya, terdapat bebatuan karst aneka bentuk yang jika terkena cahaya akan berwarna keemasan. Di Goa Keraton terdapat susunan stalaktit dan stalagmit berbentuk naga.
Kepala Desa Wonosoco Sudarmin mengemukakan, di Wonosoco terdapat tiga goa, yaitu Goa Batu Cantik, Keraton, dan Surodipo. Di Goa Batu Cantik, misalnya, terdapat bebatuan karst aneka bentuk yang jika terkena cahaya akan berwarna keemasan. Di Goa Keraton terdapat susunan stalaktit dan stalagmit berbentuk naga.
Sabtu, 09 Februari 2013
Bintang
MISTERI LEDAKAN BINTANG 150 TAHUN LALU
TERPECAHKAN

Dilansir Nbcnews, Minggu (3/2/2013), penelitian ini bermula dari ledakan bintang yang dilaporkan terjadi di 1866. Ketika itu, astronom asal Inggris John Herschel mengumumkan bahwa ia melihat sinar cerah di lokasi serupa, yang terjadi di 24 tahun lalu.
Klaim Herschel lantas ditentang. Beberapa kalangan mengatakan bahwa Herschel hanya melihat satu bintang yang cukup umum di 1842. Kini, peneliti mempertanyakan apakah bintang tersebut meledak secara berulang atau hancur dalam satu ledakan tunggal.
Keindahan Galaksi bimasakti
KEINDAHAN GALKSI BIMASAKTI

Astronesia-Observasi instrumen NACO atau Nasmyth
Adaptive Optics System di Very Large Telescope (VLT). European Southern
Observatory (ESO) mengabadikan objek pemandangan di luar angkasa. Gambar yang
ditangkap ini merupakan kilauan pusat galaksi Bima Sakti.
Dilansir Space, Jumat (1/2/2013), bagian sentral dari galaksi Bima Sakti diobservasi oleh instrumen NACO VTL. Astronom telah mengikuti perkembangan gerakan bintang-bintang pusat selama lebih dari 16 tahun.
Dilansir Space, Jumat (1/2/2013), bagian sentral dari galaksi Bima Sakti diobservasi oleh instrumen NACO VTL. Astronom telah mengikuti perkembangan gerakan bintang-bintang pusat selama lebih dari 16 tahun.
Langganan:
Postingan (Atom)